Supriyadi
Adalah Supriyadi
yang menjadi motor rencana pemberontakan. Sebetulnya ia hanya seorang
Shudanco (komandan peleton). Atasannya masih ada Cudanco (komandan
kompi) Ciptoharjono dan Daidanco (komandan batalyon) Soerahmad. Namun,
tak bisa dipungkiri, inisiatif dan otak pemberontakan ada di tangan
Supriyadi. Ia menggandeng beberapa rekan Shudanco yang sepaham. Syahdan
pada 9 Februari 1945, Supriyadi menemui guru spiritualnya, Mbah Kasan
Bendo. Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon, saat itu
Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan hingga 4
bulan. “Tapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya
hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah
mulia.”
Pesan itu disampaikan Supriyadi kepada
rekan-rekannya. Setelah sempat menemui pimpinan PUTERA, Soekarno dan
gagal mendapat restu, Supriyadi mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari
1945 di kamar Shudanco Halir Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi,
Chudanco Ismangil, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono. Hasilnya,
pemberontakan akan dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya
bila gagal, paling ringan disiksa dan paling berat hukuman mati. Rencana
ini terkesan tergesa-gesa karena Supriyadi dan rekan-rekannya khawatir
tindak tanduk mereka telah dimonitor Jepang. Shudanco Halir menceritakan
di Blitar baru saja datang satu gerbong anggota Kempetai yang baru
datang dari Semarang. Mereka menginap di Hotel Sakura. Supriyadi cs
menduga, kedatangan Kempetai untuk menangkap dirinya dan rekan-rekannya.
14 Februari 1945, pukul 03.00, senjata
dan peluru dibagi-bagikan ke anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360
orang. Setengah jam kemudian, Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke
Hotel Sakura. Hotel direbut dan tentara PETA menurunkan slogan
“Indonesia Akan Merdeka” (janji proganda Jepang) dan menggantinya dengan
spanduk “Indonesia Sudah Merdeka.” Merah putih juga dikibarkan. Pasukan
PETA melucuti senjata para polisi dan membebaskan tawanan dari penjara.
Beberapa orang Jepang yang ditemui dibunuh. Mereka lalu bergerak
menyebar ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun entah kenapa,
rencana penyebaran malah gagal. Seluruh pasukan PETA seusai serangan
justru berkumpul di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.
Sejak awal, Jepang berhati-hati dalam
menangani pemberontakan PETA. Mereka tidak terlalu ofensif dan cenderung
menggunakan jalan persuasif untuk menjinakkan Supriyadi dan
rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi menghindari tersulutnya kemarahan
Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang bisa saja malahan membuat
pemberontakan meluas dan merembet ke mana-kemana. Setelah kota Blitar
berhasil diduduki kembali, langkah diplomasi pun dibuat. Kolonel
Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi penumpasan mendatangi
pasukan Supriyadi yang bertahan di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri. Di
Sumberlumbu, Katagiri bertemu dengan Muradi, salah satu pemimpin
pemberontak. Pasukan PETA menawarkan penyerahan diri bersyarat. Adapun
syaratnya adalah:
1. Mempercepat kemerdekaan Indonesia,
2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya,
3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai pertanggungjawaban.
2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya,
3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai pertanggungjawaban.
Katagiri menyetujui syarat tersebut.
Sebagai tanda sepakat, ia menyerahkan pedang perwiranya kepada Muradi
untuk disimpan. Muradi beserta seluruh pasukannya kembali ke Blitar.
Nah, pada saat kembali dari Ngancar inilah, Supriyadi terakhir kali
terlihat. Persisnya ia hilang di dukuh Panceran, Ngancar. Ada dugaan
bisa diculik secara diam-diam dan dibunuh Jepang di Gunung Kelud, namun
berkembang juga isu bahwa ia sengaja melarikan diri. Mungkin ia memang
sudah tak yakin Jepang akan memenuhi syarat yang diajukan PETA.
Jika itu yang ia rasakan, Supriyadi
benar. Kesepakatan Sumberlumbu ternyata tak diakui oleh pimpinan tentara
Jepang di Jakarta. Mereka meminta Kempetai tetap memproses para pelaku
diproses. Dari hasil pilah memilah dan negosiasi, diberangkatkanlah 78
tentara PETA ke Jakarta untuk menghadapi pengadilan militer Jepang.
Hasil dari sidang militer, sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6
orang diganjar hukuman seumur hidup dan sisanya dihukum antara beberapa
bulan sampai beberapa tahun. Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi,
Chudanco Ismangil, Shudanco Halir Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto dan
Bundanco Soeparjono dipenggal kepalanya di Eereveld, Ancol.
Bagaimana dengan Supriyadi? Sejak ia
menghilang, ia tak pernah menunjukkan batang hidungnya kembali.
Supriyadi sendiri pernah berpesan kepada ibunya beberapa hari sebelum
pecahnya pemberontakan, apabila ia tidak kembali ke rumah dalam waktu 5
tahun, itu tandanya dirinya sudah meninggal dunia. Apa benar Supriyadi
telah gugur? Yang jelas, fakta bahwa jasadnya tak pernah diketemukan
berbanding dengan penunjukannya sebagai panglima tentara Indonesia yang
pertama menjadi bahan menarik sebagai komoditi misteri hingga kini.
Komoditi yang juga sama dengan kasus raibnya Tan Malaka sebelum
dipecahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Harry Poeze.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar