Republik Indonesia ialah sebuah
negara kepulauan yang disebut sebagai Nusantara (Kepulauan Antara) yang
terletak di antara tanah besar Asia Tenggara dan Australia dan antara
Lautan Hindi dan Lautan Pasifik. Indonesia bersempadankan Malaysia di Kalimantan,Papua New Guinea di pulau Papua, dan Timor Timur/Timor Leste di pulau Timor.
Sejarah Indonesia
meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak
zaman prasejarah oleh “Manusia Jawa” pada masa sekitar 500.000 tahun
yang lalu. Periode dalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima
era: era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta
Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era
kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang
menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama
sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20;
era kemerdekaan, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai
jatuhnya Soekarno (1966); era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan
Soeharto (1966–1998); serta era reformasi yang berlangsung sampai
sekarang.
Prasejarah
Secara geologi, wilayah Indonesia modern muncul kira-kira sekitar masa
Pleistocene ketika masih terhubung dengan Asia Daratan. Pemukim pertama
wilayah tersebut yang diketahui adalah manusia Jawa pada masa sekitar
500.000 tahun lalu. Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini
terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es.
Era pra kolonial
Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan
Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatra sekitar 200 SM. Kerajaan
Tarumanagara menguasai Jawa Barat sekitar tahun 400. Pada tahun 425
agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut. Pada masa Renaisans Eropa,
Jawa dan Sumatra telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun
dan sepanjang dua kerajaan besar yaitu Majapahit di Jawa dan Sriwijaya
di Sumatra sedangkan pulau Jawa bagian barat mewarisi peradaban dari
kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda.
Kerajaan Hindu-Buddha
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan
bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan
Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad
ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah
Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670.
Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat
dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah
kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun
1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah
yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh
Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi
hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita
Ramayana.
Kerajaan Islam
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia
sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke
Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang
ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan
Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di
Asia Barat sejak abad 7. Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir
perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin
pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan
pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun
100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim
surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah
meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu
berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang
isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya
terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang
mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang
semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang
tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan.
Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan
hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya
ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan
Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”
Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula
Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza
Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya
Palembang yang masih menganut Budha.
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam.
Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan
pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah
Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun
1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah.
Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke
penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan
utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatra. Hanya Bali yang tetap
mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur,
rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad
ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di
kepulauan-kepulauan tersebut.
Penyebaran Islam dilakukan/didorong melalui hubungan perdagangan di luar
Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan
utusan dari pemerintahan islam yg datang dari luar Indonesia, maka
untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja
melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada
para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam
dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan
ahli kerajaan/kesultanan lah yang pertama mengadopsi agama baru
tersebut. Kesultanan/Kerajaan penting termasuk Samudra Pasai, Kesultanan
Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa,
Kerajaan Mataram di Yogja / Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan
Kesultanan Tidore di Maluku di timur.
Kolonisasi Belanda
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah
yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara
kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya
yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai
Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia
bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350
tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari
Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan
masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah
Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu
kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi
sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan
kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.
VOC
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung
oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan
Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie
atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan
aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun
1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan
rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan
ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil
rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba
berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk
Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan
Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian
mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau
budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam
politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa
peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan
Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah
Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah
pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada
tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal
sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam
sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang
menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll.
Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa
kekayaan yang besar kepada para pelaksananya – baik yang Belanda maupun
yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan
dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan
Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi
yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit
perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah
Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di
sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara
Indonesia saat ini.
Gerakan nasionalisme
Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, [Serikat Dagang Islam]
dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis
berikutnya, [Budi Utomo]. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang
Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis
berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan
pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak
dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden
Indonesia yang pertama, Soekarno.
Perang Dunia II
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman.
Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor
untuk Jepang ke AS dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan
untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan
Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di
bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk
mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang
terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Era Jepang
Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan
kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan
jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan
para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi,
pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi,
tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut.
Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan,
mereka mengalami siksaan, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan
kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda
merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei,
Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme
perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru
tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis
Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.
Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat
diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka
dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang
menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
Era kemerdekaan
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat
keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan “Proklamasi”
pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio
dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang,
Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung
berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari
sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok
ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki
Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan
(tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Perang kemerdekaan
Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati
dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang
konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai
yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat.
Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota
kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta
sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel tentang 27
Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana
dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia.
Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang
terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada
partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun
1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih
negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok
Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi
sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan
pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR
untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen
Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara
unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak
menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang
otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia juga menggeser
kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung
para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi
resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut
berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika
untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat
kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia
(PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di
dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah
menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di
negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal
tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana
komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan
Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh
imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah
kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan
regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan
Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetab Dewan Keamanan PBB,
presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari
keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi
Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai
tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian
mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang
dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat Konflik Papua Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan
terhadap belahan barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan
langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian
kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan
Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian
pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan
Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat
menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan
Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan
Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadapa Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September / G30 S PKI
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang
dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan
persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan
Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer
menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana
yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat
itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI.
Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan.
Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian
dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang
paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
Era Orde Baru
Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya
adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada
tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk
melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28
September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama
kalinya.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun
sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara
berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan
secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari
jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi
militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama
masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian
sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang
kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia
juga memperkaya dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui
korupsi yang merajalela.
Irian Jaya
Setelah menolak supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia melaksanakan
“Act of Free Choice” (Aksi Pilihan Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di
mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian
diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus
akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum
PBB kemudian memastikan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia.
Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan
aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun berikutnya
setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang lebih
terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang
menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah sebuah jajahan Portugis di
pulau Timor yang dikenal sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari
pesisir utara Australia oleh Laut Timor. Akibat kejadian politis di
Portugal, pejabat Portugal secara mendadak mundur dari Timor Timur pada
1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang
dipimpin sebagian oleh orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT,
menjadi partai-partai terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi
untuk mengkampanyekan kemerdekaan dari Portugal.
Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke Timor Timur. Indonesia,
yang mempunyai dukungan material dan diplomatik, dibantu peralatan
persenjataan yang disediakan Amerika Serikat dan Australia, berharap
dengan memiliki Timor Timur mereka akan memperoleh tambahan cadangan
minyak dan gas alam, serta lokasi yang strategis.
Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh hampir
200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan
lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Timor Timur berada
dalam wilayah Indonesia.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri
dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar
99% penduduk yang berhak memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk
merdeka. Segera setelah hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak
militer Indonesia melanjutkan pengrusakan di Timor Timur, seperti
merusak infrastruktur di daerah tersebut.
Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang menintegrasikan
Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi PBB (UNTAET)
mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur sehingga
kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002.
Krisis ekonomi
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi
Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau
terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas
ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat
tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya
dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah
gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang
menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,
tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto
kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi
presiden ketiga Indonesia.
Era reformasi Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas
pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter
Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan
ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi
kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI
Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi
pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh
suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang
pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan
pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid
sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5
tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional
pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus
2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan
perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping
ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga
menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh,
Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor
Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan
para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan
menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan
politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid
memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan
demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri
dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan
dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam
pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan
kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati
mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo
Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah
baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan
tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember
2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain
pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara
pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan
mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
music
Minggu, 31 Januari 2016
15 Fakta Sejarah Kemerdekaan Indonesia Yang Tidak Pernah Terungkap
1. Soekarno Sakit Saat Proklamirkan Kemerdekaan
Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sblm pembacaan teks Proklamasi),
ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan
Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu
badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para
sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
Saat itu, tepat di tengah2 bulan puasa Ramadhan. “Pating greges”, keluh
Bung Karno setelah dibangunkan dr Soeharto, dokter kesayangannya.
Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak
pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun.
Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.
Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari
serambi rumah. “Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah
merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati.
Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera
pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali
ke kamar tidurnya; masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai.
2. Upacara Proklamasi Kemerdekaan Dibuat Sangat Sederhana
Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa
protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor, dan tak ada
pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar,
serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah,
kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang
dinanti-nanti selama lebih dari 300 tahun!
3. Bendera dari Seprai
Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI.
Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain
sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!
4. Akbar Tanjung Jadi Menteri Pertama “Orang Indonesia Asli”
Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri
pertama yang benar-benar “orang Indonesia asli”. Karena semua menteri
sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah
menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara
hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. “Orang Indonesia
asli” pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di
Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda
dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan (1988-1993).
5. Kalimantan Dipimpin 3 Kepala Negara
Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral
wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di
dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden
Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan
Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).
6. Setting Revolusi di Indonesia Diangkat ke Film
Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17
Agustus 1964, “Tahun Vivere Perilocoso” (Tahun yang Penuh Bahaya), telah
dijadikan judul sebuah film – dalam bahasa Inggris; “The Year of Living
Dangerously”. Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan
Australia yg ditugaskan di Indonesia pada 1960-an, pada detik2 menjelang
peristiwa berdarah th 1965. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson
itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!
7. Naskah Asli Proklamasi Ditemukan di Tempat Sampah
Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan
oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah
dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut
justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah. Diah menemukan draft
proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus
1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik.Pada 29
Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto,
setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.
8. Soekarno Memandikan Penumpang Pesawat dengan Air Seni
Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang
pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon),
Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman
Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang
pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin
sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari
jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat
lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan
hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air
seni itu dan membasahi semua penumpang.
9. Negatif Film Foto Kemerdekaan Disimpan Di Bawah Pohon
Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat
didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara
Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting
tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi,
berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah
diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar
jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di
bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang
pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa
dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada
Jepang?
10. Bung Hatta Berbohong Demi Proklamasi
Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa
revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan
senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan
secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah,
co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju
Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet
PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan
diajak bertemu Mahatma Gandhi. Nehru adalah kawan lama Hatta sejak
1920-an dan Dandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan,
Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad
hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak
diberi tahu yang sebenarnya.”You are a liar !” ujar tokoh kharismatik
itu kepada Nehru.
11. Bendera Merah Putih dan Perayaan Tujuh Belasan Bukan di Indonesia Saja
Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli
Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco
dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon
(sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960. Selain
itu, masih menjadi perdebatan apakah lagu Indonesia Raya benar-benar
merp karya asli WR Supratman, ataukah ‘terinspirasi’ oleh lagu Perancis,
“Les Marseilles”, yg memiliki nada2 yg sangat mirip.
12. Tidak Ada Nama Jalan Soekarn0-Hatta
Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat
Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup
untuk mengenang co-proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada
“Jalan Soekarno-Hatta” di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak
pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun
sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama
mereka.
13. Gelar Proklamator Hanyalah Gelar Lisan
Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan
yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru
1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada
mereka.
14. Indonesi Mungkin Saja Punya Lebih Dari Dua Proklamator
Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari
dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl Imam Bonjol no 1,
Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat dini hari
itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi
harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir.
Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal :
Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan
membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.
15. Jenderal Soedirman Tidak Pernah Duduki Jabatan Resmi
Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Soedirman, pada
kenyatannya tidak pernah menduduki jabatan resmi di kabinet RI. Beliau
tidak pernah menjadi KSAD, Pangab, bahkan menteri pertahanan sekalipun!.
Nah, itulah tadi 15 Fakta Sejarah Kemerdekaan Indonesia Yang Tidak
Pernah Terungkap. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan pengetahuan
kita semua.
Sejarah Indonesia Sebelum merdeka
SEJARAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI - 17 AGUSTUS 1945.
Sauara-saudara seiman, sebangsa dan setanah air di seantero dunia dan di
manapun Advent Indonesia berada..., sambil menantikan kegenapan
Kemerdekaan Sejati saat Tuhan Yesus datang, maka kita kembali
memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 66.
Simaklah sejarah nasional kita sambil berdoa agar kita bisa mengisi
kemerdekaan Indonesia dengan hal-hal agung mulia untuk pribadi, keluarga
dan bangsa kita. Kiranya keselamatan Tuhan menjadi bagian kita semua!
Merdeka!
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Jumat, 17 Agustus 1945 M atau 17 Ramadan 1365 H) dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Muhammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.
Berikut sejarah singkat rangkaian peristiwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI:
6 Agustus 1945
2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
7 Agustus 1945
BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
9 Agustus 1945
Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
10 Agustus 1945
Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.
11 Agustus 1945
Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dilaksanakan dalam beberapa hari.
14 Agustus 1945
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat (250 km di sebelah timur laut dari Saigon), Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu busuk Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro dengan Jepang. Hatta menceritakan kepada Sjahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap, Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
15 Agustus 1945
Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.
16 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Jumat, 17 Agustus 1945 M atau 17 Ramadan 1365 H) dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Muhammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.
Berikut sejarah singkat rangkaian peristiwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI:
6 Agustus 1945
2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
7 Agustus 1945
BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
9 Agustus 1945
Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
10 Agustus 1945
Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.
11 Agustus 1945
Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dilaksanakan dalam beberapa hari.
14 Agustus 1945
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat (250 km di sebelah timur laut dari Saigon), Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu busuk Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro dengan Jepang. Hatta menceritakan kepada Sjahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap, Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
15 Agustus 1945
Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.
16 Agustus 1945
Gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Pada siang hari mereka berkumpul di rumah Hatta, dan sekitar pukul 10 malam di rumah Soekarno. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.
Peristiwa Rengasdengklok
Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Yamamoto
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Yamamoto dan bermalam di kediaman wakil Admiral Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.
Naskah Proklamasi
Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumpahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.
Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang. Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat “atas nama Bangsa Indonesia” Soekarno-Hatta. Rancangan naskah proklamasi ini kemudian diketik oleh Sayuti Melik.
Isi Teks Proklamasi
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605. Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi. Sementara naskah yang sebenarnya hasil gubahan Muh.Hatta, A.Soebardjo, dan dibantu oleh Ir.Soekarno sebagai pencatat. Adapun bunyi teks naskah otentik itu sebagai berikut:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 – 8 – ’45
Wakil2 bangsa Indonesia.
Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi
Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi - Naskah Klad
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempoh
jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-05
Wakil-wakil bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
NASKAH BARU SETELAH MENGALAMI PERUBAHAN
Di dalam teks proklamasi terdapat beberapa perubahan yaitu terdapat pada:
• Kata tempoh diubah menjadi tempo
• Kata Wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi Atas nama bangsa Indonesia
• Kata Djakarta, 17-8-05 diubah menjadi Djakarta, hari 17 boelan 08 tahun '05
• Naskah proklamasi klad yang tidak ditandatangani kemudian menjadi otentik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta
• Kata Hal2 diubah menjadi Hal-hal
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo
jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.
NASKAH OTENTIK
Kesulitan memainkan berkas media?
Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-'05
Wakil2 bangsa Indonesia.
CARA PENYEBARAN TEKS PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Gedung Menteng 31 yang digunakan sebagai tempat pemancar radio yang baru Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect our Constitution, August 17!(Hormatilah Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!) Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi.
• Teuku Mohammad Hassan dari Aceh.
• Sam Ratulangi dari Sulawesi.
• Ktut Pudja dari Sunda Kecil (Bali).
• A. A. Hamidan dari Kalimantan.
Peringatan 17 Agustus 1945
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.
10 Perang Kemerdekaan Indonesia
1. Pertempuran Surabaya 10 November 1945 (Surabaya)
Indonesia semakin berani ketika perlengkapan senjata dan koordinasi militernya yang masih muda mulai menunjukkan potensi pertahanan yang cukup kuat. Belanda yang di kala itu sedang menjajal usaha invasi keduanya datang seolah tak terbendung. Namun, TNI tidak tinggal diam. Sebuah rencana serangan disusun untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya memiliki sebuah kemampuan sebuah negara berdaulat, tetapi juga eksistensi badan militer. Yogyakarta dipilih sebagai ajang pembuktian. Selain sebagai ibu kota, Yogyakarta kala itu juga memuat banyak wartawan asing yang signifikan untuk publisitas dan memperkenalkan Indonesia. Serangan dimulai saat fajar, berlangsung selama 6 jam, dan berhasil memukul mundur Belanda.
5. Pertempuran Laut Aru (Maluku)
Gencatan
senjata antara tentara Indonesia dan pihak Sekutu justru berbuntut ke
insiden Jembatan Merah. BrigJen Mallaby yang kala itu berpapasan dengan
milisi Indonesia terlibat baku tembak karena kesalahpahaman semata.
Kematian Mallaby memicu kemarahan tentara Sekutu. MayJen Robert Mansergh
yang menggantikan Mallaby lantas mengeluarkan ultimatum 10 November
1945 yang meminta pihak Indonesia untuk menyerahkan semua persenjataan
dan mengibarkan bendera putih. Tidak diindahkan, salah satu perang
paling destruktif di Indonesiapun tak terelakkan. Inggris mengerahkan
30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang untuk
mengepung Surabaya. Arek-arek Surabaya tak mengenal kata menyerah.
Dengan perlengkapan seadanya, mereka memutuskan untuk memberi
perlawanan. 6.000 rakyat Indonesia tewas dan 200.000 lainnya harus
mengungsi. Peristiwa Surabaya lantas menjadi pemicu upaya pertahanan
kemerdekaan di wilayah lain.
2. Bandung Lautan Api (Bandung)
Ultimatum
Tentara Sekutu kepada Tentara Rakyat Indonesia untuk meninggalkan kota
Bandung memicu salah satu gerakan paling spektakuler di sejarah perang
Indonesia ini. Sadar bahwa kekuatan senjata tidak akan berimbang dan
kekalahan sudah pasti di depan mata, TRI tidak rela jika Sekutu
memanfaatkan Bandung sebagai pusat militer untuk menginvasi wilayah yang
lain. Berdasarkan hasil musyawarah, sebuah tindakan bumi hangus
dipilih untuk memastikan hal ini tidak terjadi. 200.000 penduduk
Bandung membakar rumah mereka selama kurun waktu 7 jam dan bersama
bergerak mengungsi ke wilayah selatan.
3. Operasi Trikora (Irian Barat)
3. Operasi Trikora (Irian Barat)
Operasi
Trikora digelar dengan satu tujuan utama yang sederhana namun jelas
dengan berbagai usaha: merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia.
Belanda yang keras kepala dan tidak ingin menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia harus merasakan konsekuensi yang tidak ringan dari
keputusannya tersebut. Berbekal persenjataan berat yang baru saja
didapatkan dari Uni Soviet, sebuah operasi militer besar-besaran
dikerahkan; terbesar yang pernah dilakukan Indonesia sepanjang sejarah.
4. Serangan Umum 1 Maret 1949 (Yogyakarta)
4. Serangan Umum 1 Maret 1949 (Yogyakarta)
Indonesia semakin berani ketika perlengkapan senjata dan koordinasi militernya yang masih muda mulai menunjukkan potensi pertahanan yang cukup kuat. Belanda yang di kala itu sedang menjajal usaha invasi keduanya datang seolah tak terbendung. Namun, TNI tidak tinggal diam. Sebuah rencana serangan disusun untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya memiliki sebuah kemampuan sebuah negara berdaulat, tetapi juga eksistensi badan militer. Yogyakarta dipilih sebagai ajang pembuktian. Selain sebagai ibu kota, Yogyakarta kala itu juga memuat banyak wartawan asing yang signifikan untuk publisitas dan memperkenalkan Indonesia. Serangan dimulai saat fajar, berlangsung selama 6 jam, dan berhasil memukul mundur Belanda.
5. Pertempuran Laut Aru (Maluku)
Tidak
diragukan lagi, perang laut paling dramatis yang pernah terjadi di
Indonesia adalah Pertempuran Laut Aru yang merupakan bagian dari operasi
Trikora. Tiga kapal perang tempur Indonesia yang ditugaskan melakukan
operasi penyusupan, RI Matjan Tutul, RI Matjan Kumbang, dan RI Harimau,
harus berhadapan dengan sebuah takdir buruk. Operasi yang seharusnya
berjalan rahasia ini ternyata terendus oleh pihak otoritas Belanda.
Mereka mengirimkan dua kapal jenis destroyer dan pesawat tempur untuk
menenggelamkan ketiga kapal perang Indonesia. Namun, dengan heroiknya,
RI Matjan Tutul memutuskan untuk maju dan mengalihkan perhatian musuh,
memberikan kesempatan kepada dua kapal yang lain untuk melarikan diri.
Komodor Yos Sudarso wafat dalam pertempuran ini.
6. Operasi Dwikora (Malaysia)
Kecemasan
Soekarno bahwa Malaysia dan Kalimantan Utara akan menjadi kaki tangan
kolonial membuat operasi Dwikora dikerahkan. Malaysia yang kala itu
berada di bawah wewenang kekuasaan Inggris diberikan kesempatan untuk
melakukan referendum dan menentukan nasibnya sendiri. Namun, masyarakat
Malaysia saat itu justru mulai menghasilkan sikap anti-Indonesia dan
"meludahi" Tanah Air kita. Soekarno yang marah memutuskan untuk
berperang. Sebuah pidato terkenal, Ganyang Malaysia, juga
diproklamasikan saat itu. Perang agen rahasia, sabotase, dan militer
terbuka dikerahkan. Indonesia harus melawan tiga negara sekaligus:
Malaysia, Inggris, dan Australia.
Instruksi
Presiden Soekarno pada tanggal 31 Agustus 1945 untuk mengibarkan
bendera Merah Putih di seluruh pelosok Nusantara tidak serta-merta
membuat kedaulatan Indonesia berjaya. Belanda tampaknya tak kehilangan
akal untuk terus menancapkan taringnya di atas Tanah Air. Berkedok
sebuah lembaga kemanusiaan, Intercross, Belanda melakukan
langkah-langkah politik dan berunding dengan pihak Jepang di
Hotel Yamato. Pada tanggal 18 September 1945, sekelompok orang Belanda
W.V. Ch Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) di
atas hotel tersebut. Tentu saja ini memicu kemarahan besar rakyat
Surabaya. Para pemuda berkumpul di luar hotel dalam jumlah masif, marah
karena kedaulatan Indonesia yang terinjak. Mereka merangsek paksa,
masuk ke dalam hotel dan memicu apa yang kita kenal sebagai Insiden
Hotel Yamato. Bagian biru bendera Belanda tersebut dirobek. Bendera
yang kini hanya menyisakan warna merah dan putih dikibarkan kembali
dengan disertai pekik "Merdeka" para pemuda Surabaya.
8. Perang Gerilya Soedirman
8. Perang Gerilya Soedirman
Tidak
ada masyarakat Indonesia yang tidak mengenal sosok kharismatik,
Jenderal Soedirman. Dalam kondisi kesehatan yang bahkan tidak
memungkinkan untuk bergerak sendiri, Jenderal Soedirman tetap memimpin
pergerakan dari atas tandu. Taktik utamanya adalah dengan bergerilya,
menyerang pasukan musuh, dan kemudian bersembunyi. Beliau adalah ahli
strategi yang mumpuni dan sering berhasil menyerang pasukan Belanda dan
Sekutu di titik-titik yang memang berdampak signifikan. Sayangnya,
beliau harus kalah kepada ketidakberdayaan melawan penyakit tuberkolosis
yang semakin parah.
9. Perang Ambarawa (Semarang)
9. Perang Ambarawa (Semarang)
Sekutu
memang tidak pernah berhenti berulah. Kedatangan awal di Semarang
untuk semata mengurus tahanan perang Jepang justru berbuntut menjadi
kekacauan. Rakyat marah ketika melihat para tahanan yang sebagian besar
merupakan eks-tentara Belanda tersebut justru dipersenjatai. Serangan
dilancarkan oleh Tentara Keamanan Rakyat yang berhasil memukul mundur
pasukan Sekutu hingga mereka terpaksa bertahan di kompleks gereja.
Tanggal 12 Desember 1945, kesatuan-kesatuan TKR datang untuk menyerang
dan memulai perang selama 1,5 jam. Melalui strategi flanking, Indonesia
berhasil merebut Ambarawa dan memukul mundur Sekutu.
10. Puputan Margarana (Bali)
Bagi Anda yang belum mengenal sejarah Bali sebelumnya, Puputan mungkin tampil sebagai sebuah konsep yang masih asing terdengar. Namun, bagi yang pernah mempelajarinya, Puputan merupakan tindakan paling patriotik yang ada dalam sejarah Indonesia. Puputan adalah tradisi masyarakat Bali untuk memberikan perlawanan terhadap siapa pun agresor yang berani menyentuh Tanah Air hingga titik darah penghabisan. Tidak ada kata mundur, tidak ada kata menyerah. Salah satu perang puputan paling dramatis adalah Puputan Margarana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Dalam usaha mempertahankan desa Marga dari serangan NICA, Ngurah Rai yang berhasil merampas senjata api dari tentara Belanda berkomitmen untuk mengobarkan perang perlawanan hingga titik darah penghabisan. Tentara Belanda yang sempat kewalahan dan kalah terpaksa meminta bantuan sebagian besar pasukannya di Bali dan pesawat pengebom dari Makassar untuk membasmi perlawanan ini. 96 orang tewas, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Dari pihak Belanda? Kurang lebih 400 orang tewas.
10. Puputan Margarana (Bali)
Bagi Anda yang belum mengenal sejarah Bali sebelumnya, Puputan mungkin tampil sebagai sebuah konsep yang masih asing terdengar. Namun, bagi yang pernah mempelajarinya, Puputan merupakan tindakan paling patriotik yang ada dalam sejarah Indonesia. Puputan adalah tradisi masyarakat Bali untuk memberikan perlawanan terhadap siapa pun agresor yang berani menyentuh Tanah Air hingga titik darah penghabisan. Tidak ada kata mundur, tidak ada kata menyerah. Salah satu perang puputan paling dramatis adalah Puputan Margarana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Dalam usaha mempertahankan desa Marga dari serangan NICA, Ngurah Rai yang berhasil merampas senjata api dari tentara Belanda berkomitmen untuk mengobarkan perang perlawanan hingga titik darah penghabisan. Tentara Belanda yang sempat kewalahan dan kalah terpaksa meminta bantuan sebagian besar pasukannya di Bali dan pesawat pengebom dari Makassar untuk membasmi perlawanan ini. 96 orang tewas, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Dari pihak Belanda? Kurang lebih 400 orang tewas.
Pemberontakan PETA : di Ngacar Kediri, Supriyadi Menghilang
Pemberontakan PETA
Blitar pecah pada 14 Februari 1945. Sejatinya, pemberontakan dilakukan
lebih awal, yakni 5 Februari 1945 saat dilakukan latihan bersama
(Daidan) batalyon PETA Jawa Timur di Tuban. Namun, rencana ini gagal,
karena Jepang mendadak membatalkan jalannya latihan. Perwira PETA yang
terlanjur datang ke Tuban dipulangkan masing-masing ke kotanya. Rencana
pemberontakan PETA sendiri sesungguhnya datang dari akumulasi kekecewaan
para kadet PETA terhadap Jepang. Di lapangan, mereka kerap menjumpai
tindak sewenang-wenang tentara Jepang kepada pribumi, sementara dalam
latihan ketentaraan, Jepang selain keras juga melakukan diskriminasi,
seperti keharusan menghormat tentara Jepang meski pangkatnya lebih
rendah.
Supriyadi
Adalah Supriyadi
yang menjadi motor rencana pemberontakan. Sebetulnya ia hanya seorang
Shudanco (komandan peleton). Atasannya masih ada Cudanco (komandan
kompi) Ciptoharjono dan Daidanco (komandan batalyon) Soerahmad. Namun,
tak bisa dipungkiri, inisiatif dan otak pemberontakan ada di tangan
Supriyadi. Ia menggandeng beberapa rekan Shudanco yang sepaham. Syahdan
pada 9 Februari 1945, Supriyadi menemui guru spiritualnya, Mbah Kasan
Bendo. Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon, saat itu
Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan hingga 4
bulan. “Tapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya
hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah
mulia.”
Pesan itu disampaikan Supriyadi kepada
rekan-rekannya. Setelah sempat menemui pimpinan PUTERA, Soekarno dan
gagal mendapat restu, Supriyadi mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari
1945 di kamar Shudanco Halir Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi,
Chudanco Ismangil, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono. Hasilnya,
pemberontakan akan dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya
bila gagal, paling ringan disiksa dan paling berat hukuman mati. Rencana
ini terkesan tergesa-gesa karena Supriyadi dan rekan-rekannya khawatir
tindak tanduk mereka telah dimonitor Jepang. Shudanco Halir menceritakan
di Blitar baru saja datang satu gerbong anggota Kempetai yang baru
datang dari Semarang. Mereka menginap di Hotel Sakura. Supriyadi cs
menduga, kedatangan Kempetai untuk menangkap dirinya dan rekan-rekannya.
14 Februari 1945, pukul 03.00, senjata
dan peluru dibagi-bagikan ke anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360
orang. Setengah jam kemudian, Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke
Hotel Sakura. Hotel direbut dan tentara PETA menurunkan slogan
“Indonesia Akan Merdeka” (janji proganda Jepang) dan menggantinya dengan
spanduk “Indonesia Sudah Merdeka.” Merah putih juga dikibarkan. Pasukan
PETA melucuti senjata para polisi dan membebaskan tawanan dari penjara.
Beberapa orang Jepang yang ditemui dibunuh. Mereka lalu bergerak
menyebar ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun entah kenapa,
rencana penyebaran malah gagal. Seluruh pasukan PETA seusai serangan
justru berkumpul di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.
Sejak awal, Jepang berhati-hati dalam
menangani pemberontakan PETA. Mereka tidak terlalu ofensif dan cenderung
menggunakan jalan persuasif untuk menjinakkan Supriyadi dan
rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi menghindari tersulutnya kemarahan
Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang bisa saja malahan membuat
pemberontakan meluas dan merembet ke mana-kemana. Setelah kota Blitar
berhasil diduduki kembali, langkah diplomasi pun dibuat. Kolonel
Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi penumpasan mendatangi
pasukan Supriyadi yang bertahan di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri. Di
Sumberlumbu, Katagiri bertemu dengan Muradi, salah satu pemimpin
pemberontak. Pasukan PETA menawarkan penyerahan diri bersyarat. Adapun
syaratnya adalah:
1. Mempercepat kemerdekaan Indonesia,
2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya,
3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai pertanggungjawaban.
2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya,
3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai pertanggungjawaban.
Katagiri menyetujui syarat tersebut.
Sebagai tanda sepakat, ia menyerahkan pedang perwiranya kepada Muradi
untuk disimpan. Muradi beserta seluruh pasukannya kembali ke Blitar.
Nah, pada saat kembali dari Ngancar inilah, Supriyadi terakhir kali
terlihat. Persisnya ia hilang di dukuh Panceran, Ngancar. Ada dugaan
bisa diculik secara diam-diam dan dibunuh Jepang di Gunung Kelud, namun
berkembang juga isu bahwa ia sengaja melarikan diri. Mungkin ia memang
sudah tak yakin Jepang akan memenuhi syarat yang diajukan PETA.
Jika itu yang ia rasakan, Supriyadi
benar. Kesepakatan Sumberlumbu ternyata tak diakui oleh pimpinan tentara
Jepang di Jakarta. Mereka meminta Kempetai tetap memproses para pelaku
diproses. Dari hasil pilah memilah dan negosiasi, diberangkatkanlah 78
tentara PETA ke Jakarta untuk menghadapi pengadilan militer Jepang.
Hasil dari sidang militer, sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6
orang diganjar hukuman seumur hidup dan sisanya dihukum antara beberapa
bulan sampai beberapa tahun. Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi,
Chudanco Ismangil, Shudanco Halir Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto dan
Bundanco Soeparjono dipenggal kepalanya di Eereveld, Ancol.
Bagaimana dengan Supriyadi? Sejak ia
menghilang, ia tak pernah menunjukkan batang hidungnya kembali.
Supriyadi sendiri pernah berpesan kepada ibunya beberapa hari sebelum
pecahnya pemberontakan, apabila ia tidak kembali ke rumah dalam waktu 5
tahun, itu tandanya dirinya sudah meninggal dunia. Apa benar Supriyadi
telah gugur? Yang jelas, fakta bahwa jasadnya tak pernah diketemukan
berbanding dengan penunjukannya sebagai panglima tentara Indonesia yang
pertama menjadi bahan menarik sebagai komoditi misteri hingga kini.
Komoditi yang juga sama dengan kasus raibnya Tan Malaka sebelum
dipecahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Harry Poeze.
Langganan:
Postingan (Atom)