music

Minggu, 31 Januari 2016

Sejarah/Asal Usul berdiri Negara Indonesia

Republik Indonesia ialah sebuah negara kepulauan yang disebut sebagai Nusantara (Kepulauan Antara) yang terletak di antara tanah besar Asia Tenggara dan Australia dan antara Lautan Hindi dan Lautan Pasifik. Indonesia bersempadankan Malaysia di Kalimantan,Papua New Guinea di pulau Papua, dan Timor Timur/Timor Leste di pulau Timor.

Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah oleh “Manusia Jawa” pada masa sekitar 500.000 tahun yang lalu. Periode dalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; era kemerdekaan, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta era reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
Sejarah/Asal Usul berdiri Negara Indonesia
Prasejarah

Secara geologi, wilayah Indonesia modern muncul kira-kira sekitar masa Pleistocene ketika masih terhubung dengan Asia Daratan. Pemukim pertama wilayah tersebut yang diketahui adalah manusia Jawa pada masa sekitar 500.000 tahun lalu. Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es.

Era pra kolonial

Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatra sekitar 200 SM. Kerajaan Tarumanagara menguasai Jawa Barat sekitar tahun 400. Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut. Pada masa Renaisans Eropa, Jawa dan Sumatra telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dan sepanjang dua kerajaan besar yaitu Majapahit di Jawa dan Sriwijaya di Sumatra sedangkan pulau Jawa bagian barat mewarisi peradaban dari kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda.

Kerajaan Hindu-Buddha

Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

Kerajaan Islam

Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7. Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan.

Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah.

Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatra. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.

Penyebaran Islam dilakukan/didorong melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan islam yg datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan/kesultanan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kesultanan/Kerajaan penting termasuk Samudra Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram di Yogja / Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur.

Kolonisasi Belanda

Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.

VOC

Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.

Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya – baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.

Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.

Gerakan nasionalisme

Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, [Serikat Dagang Islam] dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, [Budi Utomo]. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.

Perang Dunia II

Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke AS dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.

Era Jepang

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.
Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Era kemerdekaan

Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan “Proklamasi” pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.

Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.

Perang kemerdekaan

Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.

Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.

Demokrasi parlementer

Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.

Demokrasi Terpimpin

Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.

Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetab Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).

Nasib Irian Barat Konflik Papua Barat

Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.

Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadapa Irian Jaya pada 1 Mei 1963.

Gerakan 30 September / G30 S PKI

Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.

Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.

Era Orde Baru

Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui korupsi yang merajalela.

Irian Jaya

Setelah menolak supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia melaksanakan “Act of Free Choice” (Aksi Pilihan Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.

Timor Timur

Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari pesisir utara Australia oleh Laut Timor. Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal secara mendadak mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan kemerdekaan dari Portugal.

Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke Timor Timur. Indonesia, yang mempunyai dukungan material dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang disediakan Amerika Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur mereka akan memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi yang strategis.
Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.

Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia melanjutkan pengrusakan di Timor Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah tersebut.
Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang menintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi PBB (UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002.

Krisis ekonomi

Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Era reformasi Pemerintahan Habibie

Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

Pemerintahan Wahid

Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.

Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.

Pemerintahan Megawati

Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.

Pemerintahan Yudhoyono

Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.

Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.

15 Fakta Sejarah Kemerdekaan Indonesia Yang Tidak Pernah Terungkap

1. Soekarno Sakit Saat Proklamirkan Kemerdekaan
Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sblm pembacaan teks Proklamasi), ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Saat itu, tepat di tengah2 bulan puasa Ramadhan. “Pating greges”, keluh Bung Karno setelah dibangunkan dr Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.
Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. “Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya; masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai.
2. Upacara Proklamasi Kemerdekaan Dibuat Sangat Sederhana

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor, dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nanti selama lebih dari 300 tahun!

3. Bendera dari Seprai

Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

4. Akbar Tanjung Jadi Menteri Pertama “Orang Indonesia Asli”

Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar “orang Indonesia asli”. Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. “Orang Indonesia asli” pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan (1988-1993).

5. Kalimantan Dipimpin 3 Kepala Negara
Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).
6. Setting Revolusi di Indonesia Diangkat ke Film
Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, “Tahun Vivere Perilocoso” (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film – dalam bahasa Inggris; “The Year of Living Dangerously”. Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan Australia yg ditugaskan di Indonesia pada 1960-an, pada detik2 menjelang peristiwa berdarah th 1965. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!
7. Naskah Asli Proklamasi Ditemukan di Tempat Sampah
Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik.Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.
8. Soekarno Memandikan Penumpang Pesawat dengan Air Seni
Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang.

9. Negatif Film Foto Kemerdekaan Disimpan Di Bawah Pohon

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?
10. Bung Hatta Berbohong Demi Proklamasi
Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah, co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi. Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Dandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya.”You are a liar !” ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru.
11. Bendera Merah Putih dan Perayaan Tujuh Belasan Bukan di Indonesia Saja
Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960. Selain itu, masih menjadi perdebatan apakah lagu Indonesia Raya benar-benar merp karya asli WR Supratman, ataukah ‘terinspirasi’ oleh lagu Perancis, “Les Marseilles”, yg memiliki nada2 yg sangat mirip.

12. Tidak Ada Nama Jalan Soekarn0-Hatta
Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup untuk mengenang co-proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada “Jalan Soekarno-Hatta” di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka.

13. Gelar Proklamator Hanyalah Gelar Lisan
Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.
14. Indonesi Mungkin Saja Punya Lebih Dari Dua Proklamator

Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat dini hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal : Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.
15. Jenderal Soedirman Tidak Pernah Duduki Jabatan Resmi
Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Soedirman, pada kenyatannya tidak pernah menduduki jabatan resmi di kabinet RI. Beliau tidak pernah menjadi KSAD, Pangab, bahkan menteri pertahanan sekalipun!. Nah, itulah tadi 15 Fakta Sejarah Kemerdekaan Indonesia Yang Tidak Pernah Terungkap. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan pengetahuan kita semua.

Sejarah Indonesia Sebelum merdeka


SEJARAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI - 17 AGUSTUS 1945.
Sauara-saudara seiman, sebangsa dan setanah air di seantero dunia dan di manapun Advent Indonesia berada..., sambil menantikan kegenapan Kemerdekaan Sejati saat Tuhan Yesus datang, maka kita kembali memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 66. Simaklah sejarah nasional kita sambil berdoa agar kita bisa mengisi kemerdekaan Indonesia dengan hal-hal agung mulia untuk pribadi, keluarga dan bangsa kita. Kiranya keselamatan Tuhan menjadi bagian kita semua! Merdeka!
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Jumat, 17 Agustus 1945 M atau 17 Ramadan 1365 H) dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Muhammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.
Berikut sejarah singkat rangkaian peristiwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI:
6 Agustus 1945
2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
7 Agustus 1945
BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
9 Agustus 1945
Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
10 Agustus 1945
Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.
11 Agustus 1945
Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dilaksanakan dalam beberapa hari.

14 Agustus 1945
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat (250 km di sebelah timur laut dari Saigon), Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu busuk Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro dengan Jepang. Hatta menceritakan kepada Sjahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap, Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
15 Agustus 1945
Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.
16 Agustus 1945

Gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Pada siang hari mereka berkumpul di rumah Hatta, dan sekitar pukul 10 malam di rumah Soekarno. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.

Peristiwa Rengasdengklok
Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Yamamoto
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Yamamoto dan bermalam di kediaman wakil Admiral Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Naskah Proklamasi
Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumpahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.
Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang. Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat “atas nama Bangsa Indonesia” Soekarno-Hatta. Rancangan naskah proklamasi ini kemudian diketik oleh Sayuti Melik.

Isi Teks Proklamasi

Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605. Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi. Sementara naskah yang sebenarnya hasil gubahan Muh.Hatta, A.Soebardjo, dan dibantu oleh Ir.Soekarno sebagai pencatat. Adapun bunyi teks naskah otentik itu sebagai berikut:

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 – 8 – ’45
Wakil2 bangsa Indonesia.

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi


Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Isi Teks Proklamasi - Naskah Klad
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempoh
jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-05
Wakil-wakil bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

NASKAH BARU SETELAH MENGALAMI PERUBAHAN
Di dalam teks proklamasi terdapat beberapa perubahan yaitu terdapat pada:
•    Kata tempoh diubah menjadi tempo
•    Kata Wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi Atas nama bangsa Indonesia
•    Kata Djakarta, 17-8-05 diubah menjadi Djakarta, hari 17 boelan 08 tahun '05
•    Naskah proklamasi klad yang tidak ditandatangani kemudian menjadi otentik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta
•    Kata Hal2 diubah menjadi Hal-hal

Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo
jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

NASKAH OTENTIK
Kesulitan memainkan berkas media?
Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-'05
Wakil2 bangsa Indonesia.

CARA PENYEBARAN TEKS PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Gedung Menteng 31 yang digunakan sebagai tempat pemancar radio yang baru Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.

Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.

Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect our Constitution, August 17!(Hormatilah Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!) Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi.

•    Teuku Mohammad Hassan dari Aceh.
•    Sam Ratulangi dari Sulawesi.
•    Ktut Pudja dari Sunda Kecil (Bali).
•    A. A. Hamidan dari Kalimantan.

Peringatan 17 Agustus 1945
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.

10 Perang Kemerdekaan Indonesia

1. Pertempuran Surabaya 10 November 1945 (Surabaya)

Gencatan senjata antara tentara Indonesia dan pihak Sekutu justru berbuntut ke insiden Jembatan Merah. BrigJen Mallaby yang kala itu berpapasan dengan milisi Indonesia terlibat baku tembak karena kesalahpahaman semata. Kematian Mallaby memicu kemarahan tentara Sekutu. MayJen Robert Mansergh yang menggantikan Mallaby lantas mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 yang meminta pihak Indonesia untuk menyerahkan semua persenjataan dan mengibarkan bendera putih. Tidak diindahkan, salah satu perang paling destruktif di Indonesiapun tak terelakkan. Inggris mengerahkan 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang untuk mengepung Surabaya. Arek-arek Surabaya tak mengenal kata menyerah. Dengan perlengkapan seadanya, mereka memutuskan untuk memberi perlawanan. 6.000 rakyat Indonesia tewas dan 200.000 lainnya harus mengungsi. Peristiwa Surabaya lantas menjadi pemicu upaya pertahanan kemerdekaan di wilayah lain.
2. Bandung Lautan Api (Bandung)
Ultimatum Tentara Sekutu kepada Tentara Rakyat Indonesia untuk meninggalkan kota Bandung memicu salah satu gerakan paling spektakuler di sejarah perang Indonesia ini. Sadar bahwa kekuatan senjata tidak akan berimbang dan kekalahan sudah pasti di depan mata, TRI tidak rela jika Sekutu memanfaatkan Bandung sebagai pusat militer untuk menginvasi wilayah yang lain. Berdasarkan hasil musyawarah, sebuah tindakan bumi hangus dipilih untuk memastikan hal ini tidak terjadi. 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka selama kurun waktu 7 jam dan bersama bergerak mengungsi ke wilayah selatan. 



3. Operasi Trikora (Irian Barat)
Operasi Trikora digelar dengan satu tujuan utama yang sederhana namun jelas dengan berbagai usaha: merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia. Belanda yang keras kepala dan tidak ingin menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia harus merasakan konsekuensi yang tidak ringan dari keputusannya tersebut. Berbekal persenjataan berat yang baru saja didapatkan dari Uni Soviet, sebuah operasi militer besar-besaran dikerahkan; terbesar yang pernah dilakukan Indonesia sepanjang sejarah. 


4. Serangan Umum 1 Maret 1949 (Yogyakarta)

Indonesia semakin berani ketika perlengkapan senjata dan koordinasi militernya yang masih muda mulai menunjukkan potensi pertahanan yang cukup kuat. Belanda yang di kala itu sedang menjajal usaha invasi keduanya datang seolah tak terbendung. Namun, TNI tidak tinggal diam. Sebuah rencana serangan disusun untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya memiliki sebuah kemampuan sebuah negara berdaulat, tetapi juga eksistensi badan militer. Yogyakarta dipilih sebagai ajang pembuktian. Selain sebagai ibu kota, Yogyakarta kala itu juga memuat banyak wartawan asing yang signifikan untuk publisitas dan memperkenalkan Indonesia. Serangan dimulai saat fajar, berlangsung selama 6 jam, dan berhasil memukul mundur Belanda.

5. Pertempuran Laut Aru (Maluku)
Tidak diragukan lagi, perang laut paling dramatis yang pernah terjadi di Indonesia adalah Pertempuran Laut Aru yang merupakan bagian dari operasi Trikora. Tiga kapal perang tempur Indonesia yang ditugaskan melakukan operasi penyusupan, RI Matjan Tutul, RI Matjan Kumbang, dan RI Harimau, harus berhadapan dengan sebuah takdir buruk. Operasi yang seharusnya berjalan rahasia ini ternyata terendus oleh pihak otoritas Belanda. Mereka mengirimkan dua kapal jenis destroyer dan pesawat tempur untuk menenggelamkan ketiga kapal perang Indonesia. Namun, dengan heroiknya, RI Matjan Tutul memutuskan untuk maju dan mengalihkan perhatian musuh, memberikan kesempatan kepada dua kapal yang lain untuk melarikan diri. Komodor Yos Sudarso wafat dalam pertempuran ini.
class="c12" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXDrtxxBNAKJ-coycHILSZEepV-OtM4exJmQK20scksnI52Nw9tcZk68pwqqb34FM8uUIV2YJFVauI2v1lA2dZddoJMoJhctl_dbO94NaCjtYyiZBemAiNp8J_wKBQjm6DwKyejOjCrvU/s1600/55.jpg">

6. Operasi Dwikora (Malaysia)
Kecemasan Soekarno bahwa Malaysia dan Kalimantan Utara akan menjadi kaki tangan kolonial membuat operasi Dwikora dikerahkan. Malaysia yang kala itu berada di bawah wewenang kekuasaan Inggris diberikan kesempatan untuk melakukan referendum dan menentukan nasibnya sendiri. Namun, masyarakat Malaysia saat itu justru mulai menghasilkan sikap anti-Indonesia dan "meludahi" Tanah Air kita. Soekarno yang marah memutuskan untuk berperang. Sebuah pidato terkenal, Ganyang Malaysia, juga diproklamasikan saat itu. Perang agen rahasia, sabotase, dan militer terbuka dikerahkan. Indonesia harus melawan tiga negara sekaligus: Malaysia, Inggris, dan Australia. 

Instruksi Presiden Soekarno pada tanggal 31 Agustus 1945 untuk mengibarkan bendera Merah Putih di seluruh pelosok Nusantara tidak serta-merta membuat kedaulatan Indonesia berjaya. Belanda tampaknya tak kehilangan akal untuk terus menancapkan taringnya di atas Tanah Air. Berkedok sebuah lembaga kemanusiaan, Intercross, Belanda melakukan langkah-langkah politik dan berunding dengan pihak Jepang di Hotel Yamato. Pada tanggal 18 September 1945, sekelompok orang Belanda W.V. Ch Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) di atas hotel tersebut. Tentu saja ini memicu kemarahan besar rakyat Surabaya. Para pemuda berkumpul di luar hotel dalam jumlah masif, marah karena kedaulatan Indonesia yang terinjak. Mereka merangsek paksa, masuk ke dalam hotel dan memicu apa yang kita kenal sebagai Insiden Hotel Yamato. Bagian biru bendera Belanda tersebut dirobek. Bendera yang kini hanya menyisakan warna merah dan putih dikibarkan kembali dengan disertai pekik "Merdeka" para pemuda Surabaya. 


8. Perang Gerilya Soedirman
Tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak mengenal sosok kharismatik, Jenderal Soedirman. Dalam kondisi kesehatan yang bahkan tidak memungkinkan untuk bergerak sendiri, Jenderal Soedirman tetap memimpin pergerakan dari atas tandu. Taktik utamanya adalah dengan bergerilya, menyerang pasukan musuh, dan kemudian bersembunyi. Beliau adalah ahli strategi yang mumpuni dan sering berhasil menyerang pasukan Belanda dan Sekutu di titik-titik yang memang berdampak signifikan. Sayangnya, beliau harus kalah kepada ketidakberdayaan melawan penyakit tuberkolosis yang semakin parah. 


9. Perang Ambarawa (Semarang)
Sekutu memang tidak pernah berhenti berulah. Kedatangan awal di Semarang untuk semata mengurus tahanan perang Jepang justru berbuntut menjadi kekacauan. Rakyat marah ketika melihat para tahanan yang sebagian besar merupakan eks-tentara Belanda tersebut justru dipersenjatai. Serangan dilancarkan oleh Tentara Keamanan Rakyat yang berhasil memukul mundur pasukan Sekutu hingga mereka terpaksa bertahan di kompleks gereja. Tanggal 12 Desember 1945, kesatuan-kesatuan TKR datang untuk menyerang dan memulai perang selama 1,5 jam. Melalui strategi flanking, Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan memukul mundur Sekutu. 


10. Puputan Margarana (Bali)
 

Bagi Anda yang belum mengenal sejarah Bali sebelumnya, Puputan mungkin tampil sebagai sebuah konsep yang masih asing terdengar. Namun, bagi yang pernah mempelajarinya, Puputan merupakan tindakan paling patriotik yang ada dalam sejarah Indonesia. Puputan adalah tradisi masyarakat Bali untuk memberikan perlawanan terhadap siapa pun agresor yang berani menyentuh Tanah Air hingga titik darah penghabisan. Tidak ada kata mundur, tidak ada kata menyerah. Salah satu perang puputan paling dramatis adalah Puputan Margarana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Dalam usaha mempertahankan desa Marga dari serangan NICA, Ngurah Rai yang berhasil merampas senjata api dari tentara Belanda berkomitmen untuk mengobarkan perang perlawanan hingga titik darah penghabisan. Tentara Belanda yang sempat kewalahan dan kalah terpaksa meminta bantuan sebagian besar pasukannya di Bali dan pesawat pengebom dari Makassar untuk membasmi perlawanan ini. 96 orang tewas, termasuk I Gusti Ngurah Rai. Dari pihak Belanda? Kurang lebih 400 orang tewas.

Pemberontakan PETA : di Ngacar Kediri, Supriyadi Menghilang

Pemberontakan PETA Blitar pecah pada 14 Februari 1945. Sejatinya, pemberontakan dilakukan lebih awal, yakni 5 Februari 1945 saat dilakukan latihan bersama (Daidan) batalyon PETA Jawa Timur di Tuban. Namun, rencana ini gagal, karena Jepang mendadak membatalkan jalannya latihan. Perwira PETA yang terlanjur datang ke Tuban dipulangkan masing-masing ke kotanya. Rencana pemberontakan PETA sendiri sesungguhnya datang dari akumulasi kekecewaan para kadet PETA terhadap Jepang. Di lapangan, mereka kerap menjumpai tindak sewenang-wenang tentara Jepang kepada pribumi, sementara dalam latihan ketentaraan, Jepang selain keras juga melakukan diskriminasi, seperti keharusan menghormat tentara Jepang meski pangkatnya lebih rendah.
Supriyadi
Adalah Supriyadi yang menjadi motor rencana pemberontakan. Sebetulnya ia hanya seorang Shudanco (komandan peleton). Atasannya masih ada Cudanco (komandan kompi) Ciptoharjono dan Daidanco (komandan batalyon) Soerahmad. Namun, tak bisa dipungkiri, inisiatif dan otak pemberontakan ada di tangan Supriyadi. Ia menggandeng beberapa rekan Shudanco yang sepaham. Syahdan pada 9 Februari 1945, Supriyadi menemui guru spiritualnya, Mbah Kasan Bendo. Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon, saat itu Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan hingga 4 bulan. “Tapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah mulia.”
Pesan itu disampaikan Supriyadi kepada rekan-rekannya. Setelah sempat menemui pimpinan PUTERA, Soekarno dan gagal mendapat restu, Supriyadi mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari 1945 di kamar Shudanco Halir Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono. Hasilnya, pemberontakan akan dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya bila gagal, paling ringan disiksa dan paling berat hukuman mati. Rencana ini terkesan tergesa-gesa karena Supriyadi dan rekan-rekannya khawatir tindak tanduk mereka telah dimonitor Jepang. Shudanco Halir menceritakan di Blitar baru saja datang satu gerbong anggota Kempetai yang baru datang dari Semarang. Mereka menginap di Hotel Sakura. Supriyadi cs menduga, kedatangan Kempetai untuk menangkap dirinya dan rekan-rekannya.
14 Februari 1945, pukul 03.00, senjata dan peluru dibagi-bagikan ke anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360 orang. Setengah jam kemudian, Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke Hotel Sakura. Hotel direbut dan tentara PETA menurunkan slogan “Indonesia Akan Merdeka” (janji proganda Jepang) dan menggantinya dengan spanduk “Indonesia Sudah Merdeka.” Merah putih juga dikibarkan. Pasukan PETA melucuti senjata para polisi dan membebaskan tawanan dari penjara. Beberapa orang Jepang yang ditemui dibunuh. Mereka lalu bergerak menyebar ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun entah kenapa, rencana penyebaran malah gagal. Seluruh pasukan PETA seusai serangan justru berkumpul di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.
Sejak awal, Jepang berhati-hati dalam menangani pemberontakan PETA. Mereka tidak terlalu ofensif dan cenderung menggunakan jalan persuasif untuk menjinakkan Supriyadi dan rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi menghindari tersulutnya kemarahan Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang bisa saja malahan membuat pemberontakan meluas dan merembet ke mana-kemana. Setelah kota Blitar berhasil diduduki kembali, langkah diplomasi pun dibuat. Kolonel Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi penumpasan mendatangi pasukan Supriyadi yang bertahan di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri. Di Sumberlumbu, Katagiri bertemu dengan Muradi, salah satu pemimpin pemberontak. Pasukan PETA menawarkan penyerahan diri bersyarat. Adapun syaratnya adalah:
1. Mempercepat kemerdekaan Indonesia,
2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya,
3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai pertanggungjawaban.
Katagiri menyetujui syarat tersebut. Sebagai tanda sepakat, ia menyerahkan pedang perwiranya kepada Muradi untuk disimpan. Muradi beserta seluruh pasukannya kembali ke Blitar. Nah, pada saat kembali dari Ngancar inilah, Supriyadi terakhir kali terlihat. Persisnya ia hilang di dukuh Panceran, Ngancar. Ada dugaan bisa diculik secara diam-diam dan dibunuh Jepang di Gunung Kelud, namun berkembang juga isu bahwa ia sengaja melarikan diri. Mungkin ia memang sudah tak yakin Jepang akan memenuhi syarat yang diajukan PETA.
Jika itu yang ia rasakan, Supriyadi benar. Kesepakatan Sumberlumbu ternyata tak diakui oleh pimpinan tentara Jepang di Jakarta. Mereka meminta Kempetai tetap memproses para pelaku diproses. Dari hasil pilah memilah dan negosiasi, diberangkatkanlah 78 tentara PETA ke Jakarta untuk menghadapi pengadilan militer Jepang. Hasil dari sidang militer, sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6 orang diganjar hukuman seumur hidup dan sisanya dihukum antara beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Shudanco Halir Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono dipenggal kepalanya di Eereveld, Ancol.
Bagaimana dengan Supriyadi? Sejak ia menghilang, ia tak pernah menunjukkan batang hidungnya kembali. Supriyadi sendiri pernah berpesan kepada ibunya beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan, apabila ia tidak kembali ke rumah dalam waktu 5 tahun, itu tandanya dirinya sudah meninggal dunia. Apa benar Supriyadi telah gugur? Yang jelas, fakta bahwa jasadnya tak pernah diketemukan berbanding dengan penunjukannya sebagai panglima tentara Indonesia yang pertama menjadi bahan menarik sebagai komoditi misteri hingga kini. Komoditi yang juga sama dengan kasus raibnya Tan Malaka sebelum dipecahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Harry Poeze.